Halaman

Monday, June 4, 2012

Komunikasi Sosial Sebagai Kebutuhan Emosional dan Intelektual

          Melalui komunikasi dengan orang lain, kita dapat memenuhi kebutuhan emosional dan intelektual kita, dengan memupuk hubungan yang hangat dengan orang-orang disekitar kita. Tanpa pengasuhan dan pendidikan yang wajar, manusia akan mengalami kemerosotan emosional dan intelektual. Kebutuhan emosional dan intelektual itu kita peroleh pertama-tama dari keluarga kita, lalu orang-orang dekat disekeliling kita seperti kerabat dan kawan-kawan sebaya, dan barulah dari masyarakat umumnya, termasuk sekolah dan media massa seperti surat kabar dan televise. Khususnya dalam lingkungan keluarga, kebutuhan biologis, emosional dan intelektual anak bisa dipenuhi dengan tindakan anggota keluarga lainnya, dan kebutuhan mereka bersama-sama sebagai suatu komunitas juga dipenuhi oleh komunitas lainnya, begitulah seterusnya. Semua bekerjasama untuk memperoleh kesejahteraan itu pertama-tama dan terutama dilakukan lewat komunikasi.

          Orang yang tidak memperoleh kasih sayang dan kehangatan dari orang-orang disekelilingnya cenderung agresif. Pada gilirannya agresitivitas ini melahairkan kekerasan terhadap orang lain, seperti ditunjukkan berbagai penelitian. Misalnya Philip G. Zimbardo melakukan penelitian ekstensif di Amerika Serikat tentang hubungan antara anonimitas (keterasingan) dan agresi (kekerasan). Ia dan kawan-kawannya meninggalkan mobil tanpa plat nomor dan tanpa kap di sebuah jalan di Palo Alto, California, juga meninggalkan mobil serupa disebuah jalan di daerah Bronx, New York, yang penduduknya tidak saling mengenal dan terasing antara satu dengan lainnya. Dalam dua kasus itu masing-masing mobil berwarna putih dan ditempatkan di daerah kelas menengah dekat sebuah Universitas besar.

          Di Palo Alto mobil tersebut tidak dijamah siapapun selama seminggu lebih, kecuali seseorang yang lewat merendahkan kap mobil agar mesin mobil tidak basah. Di Bronx dalam beberapa jam saja dan pada siang hari bolong orang-orang dewasa dan anak-anak muda mempereteli onderdil mobil yang masih bisa dipakai dan dijual. Tidak ada orang yang mempedulikan perilaku mereka. Berikutnya, anak-anak memecahkan kaca depan dan kaca belakang mobil. Lalu orang-orang dewasa menghandam mobil itu dengan batu, pipa. dan palu. Dalam waktu kurang dari tiga hari mobil itu menjadi barang rongsokan yang hancur tanpa bentuk. Kejadian itu menunjukkan betapa keterasingan yang dialami seseorang cenderung membuatnya berperilaku agresif, dan bahkan brutal.

          Lebih jauh lagi, komunikasi telah dihubungkan bukan hanya dengan kessehatan psikis, tetapi juga kesehatan fisik. Seperti ditunjukkan Sommer berdasarkan berbagai sumber yang diperolehnya. Orang-orang yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk terserang penyakit jantung, kanker, dan dirawat di rumah sakit. Sebaliknya, marjinalitas sosial berkaitan dengan kemungkinan lebih tinggi terkena penyakit jantung, kanker, depresi, darah tinggi, arthristis, schizophrenia, tuberculosis, dan kematian. Suatu studi atas 2320 pria yang selamat dari penyakit infark jantung (myocardial infarktion) menemukan bahwa orang-orang yang terisolasi secara sosial dan menderita stres tinggi menunjukkan tingkat kematian empat kali lebih tinggi yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor risiko fisik dan akses terhadap perawatan medis.

          Penelitian selama lebih dari sepuluh tahun secaraa ajeg menunjukkan hubungan yang erat antara stress dan penyakit akut. Terdapat cukup data yang secara jelas menghubungkan cirri-ciri kepribadian sebagai faktor risiko yang menimbulkan penyakit kanker dan penyakit jantung. Orang yang lebih mandiri, kalem dalam menghadapi stress dan mengambil keputusan seraya tetap optimistik, mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk terkena penyakit jantung dan kanker. Orang yang menekan emosinya dan merasa tidak berdaya dalam menghadapi stres lebih rentan terhadap kanker, sedangkan orang yang agresif dan bereaksi terhadap stres dengan respons emosional yang berlebihan lebih mungkin terkena penyakit jantung.

          Sommer juga mengemukakan, terdapat hubungan antara system saraf pusat dan sistem kekebalan. Itu terjadi via sistem saraf otonomik dan system peredaran darah. Penjelasannya cukup rumit, akan tetapi cukuplah dikatakan bahwa stress psikologis yang kronis mempunyai efek yang merugikan fungsi kekebalan, sementara intervensi psikologis, seperti tertawa, relaksasi, meditasi, dan olah raga yang cukup mempunyai efek yang positif terhadap fungsi kekebalan. New England Journal of Medicine melaporkan tahun 1991 bahwa stress psikologis berkaitan dengan peningkatan risiko terkena pilek akut yang disebabkan lima virus yang berbeda.
  
         Stewart menunjukkan bahwa orang terkucil secara sosial cenderung akan cepat mati. Selain itu, kemampuan berkomunikasi yang buruk ternyata mempunyai andil dalam penyakit jantung koroner, dan kemungkinan terjadinya kematian naik pada orang yang ditinggalkan mati oleh pasangan hidupnya.

          Surat kabar The Age (24 Desember 1998) dengan judul Get A Wife For A Longer Life menunjukkan, di Australia ternyata pria maupun wanita yang menikah hidup lebih lama daripada yang tidak menikah atau yang bercerai. Namun kaum pria lebih “diuntungkan” karena pria berusia 20-69 tahun yang tidak menikah angka kematiannya dua sampai empat kali lebih banyak daripada pria yang menikah.

           Jauh sebelum itu Raja Frederick II, penguasa Sicilia abad ke-13 membuat percobaan dengan memasukkan bayi ke dalam laboratorium. Anak-anak itu dimandikan dan disusui oleh ibu-ibu, namun bayi-bayi itu tidak diajak bicara. Akibatnya, mengejutkan. Semua bayi pada percobaan itu mati. Tahun 1915, seseorang dokter di rumah sakit John Hopkins menemukan bahwa 90% dari semua bayi yang ada dipanti asuhan Baltimore, Maryland, meninggal dalam satu tahun. Pada tahun 1944, psikologis menemukan bahwa 34 dari 91 anak panti asuhan yang diamatinya juga mati.

           Setahun kemudian, tahun 1945, Rene Spitz melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kesehatan bayi-bayi yang jarang memperoleh belaian manusia akan mengalami kemerosotan dan menderita penyakit yang mengancam jiwa mereka. Tahun 1957, J.D French melaporkan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kelangkaaan rangsangan emosional dan sensoris menimbulkan kemunduran pada struktur otak manusia, yang pada gilirannya mengakibatkan kekurangan gizi, dan akhirnya dapat berujung pada kematian. Eric Berne mengembangkan suatu teori hubungan social yang ia sebut Transactional Analysis (1961). Teorinya berdasarkan hasil penelitian mengenai keterlantaran indrawi (sensory deprivation) yang menunjukkan bahwa bayi-bayi yang kekurangan belaian dan hubungan manusiawi yang normal menunjukkan tanda-tanda kemerosotan fisik dan mental yang bisa berakibat fatal. Ia menyimpulkan bahwa sentuhan emosional dan indrawi itu penting bagi kelangsungan hidup manusia. Ia menyimpulkan teorinya dengan ungkapan bahwa “if you are not stroked your spinal cord will shivel up” (jika engkau tidak mendapatkan belaian, urat saraf tulang belakangmu akan layu).

          Menurut Berne dalam bukunya Games People Play (1964), belaian (stroked) adalah istilah umum untuk kontak fisik yang intim yang praktiknya dapat mengambil berbagai bentuk. Sebagaian orang secara harfiah membelai seorang bayi, sebagaian lagi memeluknya atau menepuknya, sementara lainnya lagi mencubitnya atau menyentuhnya dengan ujung jari. Semua ini punya analoginya dalam percakapan, sehingga tampaknya orang meramalkan bagaimana seorang individu akan memperlakukan bayi dengan mendengarkan suara berbicara. Dalam arti  luas, belaian mengisyaratkan pengakuan atas kehadiran orang lain. Karena itu, belaian dapat digunakan sebagai unit dasar tindakan sosial.

          Kaitan erat antara komunikasi yang manusiawi (tulus, hangat, dan akrab) dengan harapan hidup diperteguh oleh penelitian mutakhir yang dilakukan Michael Babyak dari Universitas Duke, dan beberapa kawannya dari beberapa Universitas lain di Amerika Serikat. Melalui penelitian yang mengambil 750 orang kulit putih dari kelas menengah sebagai sampel, dan memakan waktu 22 tahun, Babyak dan rekan-rekannya menemukan bahwa orang-orang yang memusuhi orang lain, mendominasi pembicaraan, dan tidak suka berteman, berpeluang 60% lebih tinggi menemui kematian pada usia dini dibandingkan dengan ornag-orang yang berperilaku sebaliknya, ramah, suka berteman, dan berbicara tenang. Sebuah tim penelitian lain di rumah sakit Lehigh Valley Pennsylvania, Amerika Serikat, menemukan bahwa orang yang gampang marah, menyimpan perasaan bermusuhan, suka bersikap sinis, agresif berkaitan erat dengan peningkatan kematian akibat penyakit infark jantung.

          Tidak sulit menduga bahwa watak tertentu menimbulkan respons tubuh tertentu pula. Misalnya kita bisa melihat reaksi tubuh bagian luar orang yang sedang marah, muka merah, mata melotot, dan berwarna merah, tubuh gemetar, berkeringat, dan sebagainya. Dalam konteks ini. Babyak dan kawan-kawanya menduga bahwa orang-orang  dari golongan pertama tadi secara kronis lebih cepat dibangkitkan dan terkena stress. Hal itu membuat mereka menghasilkan lebih banyak hormone stres yang merugikan dan lebih berisiko terkena penyakit jantung. Semua hasil penelitian di atas sebenarnya memperkuat ucapan Nabi Muhammad SAW sang ilmuan sejati 14 abad yang lalu, bahwa silahturahmi memperpanjang usia.

Sumber : Ilmu Komunikasi

No comments:

Post a Comment