Melalui komunikasi dengan orang lain, kita dapat memenuhi
kebutuhan emosional dan intelektual kita, dengan memupuk hubungan yang hangat
dengan orang-orang disekitar kita. Tanpa pengasuhan dan pendidikan yang wajar,
manusia akan mengalami kemerosotan emosional dan intelektual. Kebutuhan
emosional dan intelektual itu kita peroleh pertama-tama dari keluarga kita,
lalu orang-orang dekat disekeliling kita seperti kerabat dan kawan-kawan
sebaya, dan barulah dari masyarakat umumnya, termasuk sekolah dan media massa
seperti surat kabar dan televise. Khususnya dalam lingkungan keluarga,
kebutuhan biologis, emosional dan intelektual anak bisa dipenuhi dengan
tindakan anggota keluarga lainnya, dan kebutuhan mereka bersama-sama sebagai
suatu komunitas juga dipenuhi oleh komunitas lainnya, begitulah seterusnya.
Semua bekerjasama untuk memperoleh kesejahteraan itu pertama-tama dan terutama
dilakukan lewat komunikasi.
Orang
yang tidak memperoleh kasih sayang dan kehangatan dari orang-orang
disekelilingnya cenderung agresif. Pada gilirannya agresitivitas ini
melahairkan kekerasan terhadap orang lain, seperti ditunjukkan berbagai
penelitian. Misalnya Philip G. Zimbardo melakukan penelitian ekstensif di
Amerika Serikat tentang hubungan antara anonimitas (keterasingan) dan agresi
(kekerasan). Ia dan kawan-kawannya meninggalkan mobil tanpa plat nomor dan
tanpa kap di sebuah jalan di Palo Alto, California, juga meninggalkan mobil
serupa disebuah jalan di daerah Bronx, New York, yang penduduknya tidak saling
mengenal dan terasing antara satu dengan lainnya. Dalam dua kasus itu masing-masing
mobil berwarna putih dan ditempatkan di daerah kelas menengah dekat sebuah
Universitas besar.
Di Palo
Alto mobil tersebut tidak dijamah siapapun selama seminggu lebih, kecuali
seseorang yang lewat merendahkan kap mobil agar mesin mobil tidak basah. Di
Bronx dalam beberapa jam saja dan pada siang hari bolong orang-orang dewasa dan
anak-anak muda mempereteli onderdil mobil yang masih bisa dipakai dan dijual.
Tidak ada orang yang mempedulikan perilaku mereka. Berikutnya, anak-anak
memecahkan kaca depan dan kaca belakang mobil. Lalu orang-orang dewasa
menghandam mobil itu dengan batu, pipa. dan palu. Dalam waktu kurang dari tiga
hari mobil itu menjadi barang rongsokan yang hancur tanpa bentuk. Kejadian itu
menunjukkan betapa keterasingan yang dialami seseorang cenderung membuatnya
berperilaku agresif, dan bahkan brutal.
Lebih
jauh lagi, komunikasi telah dihubungkan bukan hanya dengan kessehatan psikis,
tetapi juga kesehatan fisik. Seperti ditunjukkan Sommer berdasarkan berbagai
sumber yang diperolehnya. Orang-orang yang memperoleh dukungan sosial yang
tinggi mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk terserang penyakit jantung,
kanker, dan dirawat di rumah sakit. Sebaliknya, marjinalitas sosial berkaitan
dengan kemungkinan lebih tinggi terkena penyakit jantung, kanker, depresi,
darah tinggi, arthristis, schizophrenia, tuberculosis, dan kematian. Suatu
studi atas 2320 pria yang selamat dari penyakit infark jantung (myocardial
infarktion) menemukan bahwa orang-orang yang terisolasi secara sosial dan
menderita stres tinggi menunjukkan tingkat kematian empat kali lebih tinggi
yang tidak dapat dijelaskan oleh faktor risiko fisik dan akses terhadap
perawatan medis.
Penelitian
selama lebih dari sepuluh tahun secaraa ajeg menunjukkan hubungan yang erat
antara stress dan penyakit akut. Terdapat cukup data yang secara jelas
menghubungkan cirri-ciri kepribadian sebagai faktor risiko yang menimbulkan
penyakit kanker dan penyakit jantung. Orang yang lebih mandiri, kalem dalam
menghadapi stress dan mengambil keputusan seraya tetap optimistik, mempunyai
kemungkinan lebih rendah untuk terkena penyakit jantung dan kanker. Orang yang
menekan emosinya dan merasa tidak berdaya dalam menghadapi stres lebih rentan
terhadap kanker, sedangkan orang yang agresif dan bereaksi terhadap stres
dengan respons emosional yang berlebihan lebih mungkin terkena penyakit
jantung.
Sommer
juga mengemukakan, terdapat hubungan antara system saraf pusat dan sistem
kekebalan. Itu terjadi via sistem saraf otonomik dan system peredaran darah.
Penjelasannya cukup rumit, akan tetapi cukuplah dikatakan bahwa stress
psikologis yang kronis mempunyai efek yang merugikan fungsi kekebalan,
sementara intervensi psikologis, seperti tertawa, relaksasi, meditasi, dan olah
raga yang cukup mempunyai efek yang positif terhadap fungsi kekebalan. New
England Journal of Medicine melaporkan tahun 1991 bahwa stress psikologis
berkaitan dengan peningkatan risiko terkena pilek akut yang disebabkan lima
virus yang berbeda.
Stewart
menunjukkan bahwa orang terkucil secara sosial cenderung akan cepat mati.
Selain itu, kemampuan berkomunikasi yang buruk ternyata mempunyai andil dalam
penyakit jantung koroner, dan kemungkinan terjadinya kematian naik pada orang
yang ditinggalkan mati oleh pasangan hidupnya.
Surat kabar The Age (24 Desember 1998) dengan judul Get A Wife For A Longer Life
menunjukkan, di Australia ternyata pria maupun wanita yang menikah hidup lebih
lama daripada yang tidak menikah atau yang bercerai. Namun kaum pria lebih
“diuntungkan” karena pria berusia 20-69 tahun yang tidak menikah angka
kematiannya dua sampai empat kali lebih banyak daripada pria yang menikah.
Jauh
sebelum itu Raja Frederick II, penguasa Sicilia abad ke-13 membuat percobaan
dengan memasukkan bayi ke dalam laboratorium. Anak-anak itu dimandikan dan
disusui oleh ibu-ibu, namun bayi-bayi itu tidak diajak bicara. Akibatnya,
mengejutkan. Semua bayi pada percobaan itu mati. Tahun 1915, seseorang dokter
di rumah sakit John Hopkins menemukan bahwa 90% dari semua bayi yang ada
dipanti asuhan Baltimore, Maryland, meninggal dalam satu tahun. Pada tahun
1944, psikologis menemukan bahwa 34 dari 91 anak panti asuhan yang diamatinya
juga mati.
Setahun
kemudian, tahun 1945, Rene Spitz melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa kesehatan bayi-bayi yang jarang memperoleh belaian manusia akan mengalami
kemerosotan dan menderita penyakit yang mengancam jiwa mereka. Tahun 1957, J.D
French melaporkan temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kelangkaaan
rangsangan emosional dan sensoris menimbulkan kemunduran pada struktur otak
manusia, yang pada gilirannya mengakibatkan kekurangan gizi, dan akhirnya dapat
berujung pada kematian. Eric Berne mengembangkan suatu teori hubungan social
yang ia sebut Transactional Analysis (1961). Teorinya berdasarkan hasil penelitian
mengenai keterlantaran indrawi (sensory deprivation) yang menunjukkan bahwa
bayi-bayi yang kekurangan belaian dan hubungan manusiawi yang normal
menunjukkan tanda-tanda kemerosotan fisik dan mental yang bisa berakibat fatal.
Ia menyimpulkan bahwa sentuhan emosional dan indrawi itu penting bagi
kelangsungan hidup manusia. Ia menyimpulkan teorinya dengan ungkapan bahwa “if you are not stroked your spinal cord
will shivel up” (jika engkau tidak mendapatkan belaian, urat saraf tulang
belakangmu akan layu).
Menurut
Berne dalam bukunya Games People Play
(1964), belaian (stroked) adalah
istilah umum untuk kontak fisik yang intim yang praktiknya dapat mengambil
berbagai bentuk. Sebagaian orang secara harfiah membelai seorang bayi,
sebagaian lagi memeluknya atau menepuknya, sementara lainnya lagi mencubitnya
atau menyentuhnya dengan ujung jari. Semua ini punya analoginya dalam
percakapan, sehingga tampaknya orang meramalkan bagaimana seorang individu akan
memperlakukan bayi dengan mendengarkan suara berbicara. Dalam arti luas, belaian mengisyaratkan pengakuan atas
kehadiran orang lain. Karena itu, belaian dapat digunakan sebagai unit dasar
tindakan sosial.
Kaitan
erat antara komunikasi yang manusiawi (tulus, hangat, dan akrab) dengan harapan
hidup diperteguh oleh penelitian mutakhir yang dilakukan Michael Babyak dari
Universitas Duke, dan beberapa kawannya dari beberapa Universitas lain di
Amerika Serikat. Melalui penelitian yang mengambil 750 orang kulit putih dari
kelas menengah sebagai sampel, dan memakan waktu 22 tahun, Babyak dan
rekan-rekannya menemukan bahwa orang-orang yang memusuhi orang lain,
mendominasi pembicaraan, dan tidak suka berteman, berpeluang 60% lebih tinggi
menemui kematian pada usia dini dibandingkan dengan ornag-orang yang
berperilaku sebaliknya, ramah, suka berteman, dan berbicara tenang. Sebuah tim
penelitian lain di rumah sakit Lehigh Valley Pennsylvania, Amerika Serikat,
menemukan bahwa orang yang gampang marah, menyimpan perasaan bermusuhan, suka
bersikap sinis, agresif berkaitan erat dengan peningkatan kematian akibat
penyakit infark jantung.
Tidak
sulit menduga bahwa watak tertentu menimbulkan respons tubuh tertentu pula.
Misalnya kita bisa melihat reaksi tubuh bagian luar orang yang sedang marah,
muka merah, mata melotot, dan berwarna merah, tubuh gemetar, berkeringat, dan
sebagainya. Dalam konteks ini. Babyak dan kawan-kawanya menduga bahwa
orang-orang dari golongan pertama tadi
secara kronis lebih cepat dibangkitkan dan terkena stress. Hal itu membuat
mereka menghasilkan lebih banyak hormone stres yang merugikan dan lebih
berisiko terkena penyakit jantung. Semua hasil penelitian di atas sebenarnya
memperkuat ucapan Nabi Muhammad SAW sang ilmuan sejati 14 abad yang lalu, bahwa
silahturahmi memperpanjang usia.
Sumber : Ilmu Komunikasi
No comments:
Post a Comment